Mengukir Sejarah Amerika
Barack Obama mengukir sejarah Amerika. Mempunyai latar belakang yang menarik: ayahnya kulit hitam, ibu kulit putih, satu-satunya Afro-Amerika di Senat AS, dan terpilih menjadi presiden AS pertama keturunan Afrika dari Partai Demokrat dalam Pilpres 4 November 2008, mengalahkan John McCain Capres Partai Republik. Sewaktu kecil, Obama pernah tinggal dan sekolah di Indonesia.
Rasanya lebih mudah membayangkan Amerika memiliki seorang presiden kulit hitam setelah menyaksikan serial TV ‘24’ yang sempat menjadi hit di Amerika dan berbagai negara.
Dalam serial TV yang menonjolkan upaya Amerika memerangi terorisme ini, Jack Bauer, sang jagoan dari CTU (Counter Terorism Unit) harus berjibaku dengan waktu yang terbatas (24 jam) untuk menggagalkan upaya teroris menyerang kota-kota di Amerika. Jack berulang kali harus melindungi presiden kulit hitam pertama yang memimpin Amerika, Presiden David Palmer, dari berbagai upaya pembunuhan. Dalam serial 24, Palmer digambarkan sebagai presiden yang berkarakter tenang, tidak gegabah mengambil keputusan, selalu menghindar dari cara-cara tidak terhormat dan karismatis.
Penampilan Palmer di serial 24 cukup memukau sebab menonjolkan sosok Presiden Amerika Serikat yang patriotik dan nasionalis. Penonton pun berdecak kagum dengan karakter yang diperankan Palmer. Aktor yang memerankan Palmer, Dennis Haysbert bahkan mengklaim bahwa ia sudah meretas jalan bagi Barack Obama untuk menjadi orang nomor satu di AS. Ia mengatakan jutaan penggemar serial ini menjadi terbiasa dengan ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam. Dan jika Obama bisa sampai ke Gedung Putih, sang aktor menyatakan bahwa serial 24 layak mendapat kredit.
Ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam kelihatannya sudah dapat diterima oleh sebagian warga negara Amerika. Meski Obama termasuk orang baru dalam kancah politik Amerika Serikat, antusiasme masyarakat dan media Amerika atas Obama terbilang sangat besar.
Pada salah satu edisi tahun 2005, TIME memasukkan nama Obama pada daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia. New Statesman, sebuah media di Inggris, mendaftar Obama sebagai salah satu dari “sepuluh orang yang mampu mengubah dunia.” Pada edisi 23 Oktober 2006, TIME memasang wajah tersenyum Obama sebagai cover, dan memasang judul besar-besar, “Kenapa Barack Obama Bisa Jadi Presiden Selanjutnya” (Why Barack Obama Could be The Next President”), ditulis oleh salah satu jurnalis terkemuka, Joe Klein.
Sementara media-media lokal lainnya seperti Washington Post, pernah menerbitkan headline berjudul agak bombastik: “The Legend of Barack Obama” (Legenda Barack Obama). Obama juga mendapat perhatian dari majalah budaya seperti Rolling Stone dan The New Yorker. Pada edisi 2004, Rolling Stone memilih Obama sebagai salah satu People of the Year.
Latar belakang kehidupan Barack Obama benar-benar ‘ditelanjangi’ dan diekspos luas. Satu waktu mengulas tuntas kehidupan Obama dari kecil hingga sekarang, di waktu lain mengulas kehidupan dan pengaruh ibundanya pada diri Obama, termasuk kehidupan Obama saat tinggal di Indonesia.
Membaca perjalanan hidup Obama lewat tulisan-tulisan di berbagai media tersebut memang akan membuat kita mengenal sosok Obama. Pada kolom majalah US Weekly edisi 10 Maret 2008, sosok Obama digambarkan sebagai sosok yang sama dengan kita (like us), dalam kehidupan sehari harinya. Ia pun menjadi inspirasi bagi banyak orang, yang merasa terpinggirkan dan tak berdaya. Sebab Obama menapaki kehidupan getir ditinggal ayahnya (Barack Hussein Obama asal Kenya), yang punya tiga istri lain, selain ibu kandung Obama, Ann Dunham, perempuan kulit putih.
Meski demikian, hal-hal yang baik dari kedua orang tuanya mengalir dalam darah Obama. Obama mewarisi kecerdasan seorang ekonom bergelar Ph.D lulusan Universitas Harvard dari ayahnya, dan nilai-nilai empati dan pelayanan kepada orang lain seorang antropolog dari ibunya. Postur tubuh dan warna kulit Obama, bahkan rambutnya yang keriting, lebih mirip ayahnya ketimbang ibunya.
Dreams from My Father
Obama, Jr lahir di Honolulu, Hawaii pada 4 Agustus 1961, anak hasil perkawinan Barack Hussein Obama, Sr dan Ann Dunham. Obama, Sr adalah pria asal Alego, sebuah desa di Provinsi Nyanza, Kenya, Afrika. Sedangkan Ann lahir dan tumbuh dewasa di kota kecil Wichita, Kansas.
Otaknya yang cemerlang merubah nasib Obama Sr, dari seorang penggembala kambing dan pelayan di rumah keluarga berkebangsaan Inggris di Kenya, menjadi seorang mahasiswa berbeasiswa untuk kuliah di East-West Center di Universitas Hawaii di Manoa. Di sanalah Obama, Sr bertemu dengan Ann Dunham, teman seuniversitas yang kemudian dinikahinya. Sebelum menikah dengan Ann Dunhan, Obama, Sr telah menikahi wanita Kenya. Dari istrinya di Kenya itu, Obama, Sr mendapatkan tujuh orang anak.
Obama, Jr memang lahir saat kedua orangtuanya masih berstatus mahasiswa. Saat Obama berusia sekitar dua tahun, Obama Sr meninggalkan Ann Dunham dan Obama kecil, untuk meraih gelar Ph.D di bidang ekonomi di Harvard University. Mereka akhirnya bercerai. Ann Dunham lulus dan ia menjadi antropolog. Sedangkan Obama, Sr, setelah menyelesaikan pendidikannya, kembali ke Kenya, dan bekerja sebagai perencana ekonomi bagi pemerintah. Obama, Sr meninggal dunia dalam kecelakaan mobil pada 1982 - ketika itu Obama, Jr berusia 21 tahun.
Ann Dunham menikah lagi dengan mahasiswa asing lainnya dari Indonesia yang belajar di Universitas Hawaii, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan Ann-Lolo dengan Ann dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik bernama Maya Kassandra Soetoro - saat ini Maya (37 tahun) menjadi pengajar di Universitas Hawaii. Seusai studi, Lolo memboyong Ann dan Obama kecil pindah ke Jakarta. Di kota inilah Obama, Jr sempat mengenyam pendidikan dasar di Indonesia pada usia enam sampai 10 tahun.
Tentang awal masa kanak-kanaknya, dalam Dreams from My Father, Obama menulis, “Ayahku tidak terlihat seperti orang-orang di sekitarku. Dia hitam sepeti ter (aspal cair) dan ibuku putih seperti susu, hampir tak teringat di otakku”. Obama memang tak mengenal ayahnya secara dekat, tetapi mengingat petuahnya, “Jangan menangis dan tatap masa depan.” Air matanya mengalir ketika pesawat ayahnya lenyap di Samudra Pasifik saat terakhir kali menemui Obama di Hawaii tahun 1971.
Sementara pengaruh sang ibu cukup besar atas diri Obama. Menurut Newsweek (31 Maret 2008) ibunya menanamkan pada diri Obama “nilai-nilai tradisional barat tengah Amerika, yakni kejujuran, keadilan, dan bicara terus terang”. Sewaktu tinggal di Jakarta, sang ibu mendidik “supaya Obama menaruh hormat terhadap orang-orang Indonesia dan budaya mereka dan jangan sampai berpikir bahwa dia adalah superior (lebih unggul) daripada orang-orang Indonesia”.
Perkawinan Ann-Lolo tidak bertahan lama, hanya sekitar lima tahun. Pada 1974, Ann kembali ke Honolulu. Ayah tirinya, Lolo Soetoro – meninggal dunia pada 2 Maret 1993. Ann Dunham sendirl meninggal dunia karena kanker pada 1995, beberapa bulan setelah buku otobiografi Obama, Dreams from My Father diterbitkan.
Setelah sempat tinggal di Indonesia, Obama yang waktu itu berusia 10 tahun, memilih kembali ke Hawaii pada 1971, tinggal bersama kakek dan nenek dari keluarga ibunya, Madelyn Dunham. Pergulatan hidup dimulai karena hidup tanpa orangtua kandung, diiringi segregasi ras lingkungan di Punahou, Hawaii. Ibunya, Ann, pernah mendapatkan buku harian Obama yang mengisahkan, “Siapakah diri saya ini?”
Di tengah gejolak batin itu, Obama tetap berprestasi di sekolah. Di sana, Obama, Jr masuk kelas lima di Punahou School, sekolah elit untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi di Honolulu. Obama menjadi salah satu siswa kulit hitam dari 7-8 orang siswa kulit hitam di sekolah itu. la bersekolah sampai tingkat 12 dan lulus pada 1979.
Pada masa remajanya itu, Obama pernah dilingkupi perasaan keta-kutan karena merasa tidak memiliki orang tua. Hal ini dapat dipahami karena orang tua Obama tidak tinggal bersama Obama. Ia pun sempat mengalami krisis identitas. Ia menghabiskan hari-harinya di lapangan basket bahkan sempat menggunakan marijuana dan mencoba kokain. Namun, belakangan, masa-masa sulit itu membuat Obama menjadi remaja yang kuat.
Setelah sekolah menengahnya selesai, Obama melanjutkan studinya di Occidental Col-lege California lalu dia pindah ke Universitas Columbia. Di universitas ini, ia kuliah di fakultas ilmu politik dengan jurusan hubungan inter-nasional. Setelah menyelesaikan Bachelors of Arts pada 1983, Obama bekerja selama setahun di perusahaan bisnis internasional. Pada 1985, Obama pindah ke Chicago untuk mengelola proyek nirlaba yang membantu gereja lokal menyusun program pelatihan kerja bagi penduduk yang tinggal di lingkungan miskin.
Sebagai community organizer di Calumet Community Religious Conference (CCRC), tugas Obama antara lain mendatangi rumah satu per satu guna mendata berbagai permasalahan warga. Mulai dari perkara selokan mampet, air ledeng cuma menetes, sampai bagaimana caranya mengatasi persoalan pelacuran. Tidak mudah, karena Obama lebih banyak ditolak daripada dipersilakan masuk rumah. Bahkan diusir dan dimaki-maki. Sejarah kemudian mencatat Obama sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan dan menyusun keamanan mandiri. Harvard Law School pun menawari beasiswa kepada Obama.
Presiden Harvard Law Review
Obama kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Harvard dan kuliah di fakultas hukum pada 1988. Pada Februari 1990, Obama dikenal secara nasional karena menjadi keturunan Afrika-Amerika pertama yang terpilih sebagai presiden Harvard Law Review - majalah yang berisi jurnal ilmiah ilmu hukum. Media memujinya, tetapi para mahasiswa kulit hitam lainnya mengkritiknya karena tidak memilih lebih banyak siswa kulit hitam lainnya pada posisi atas di majalahnya itu. Dia menyelesaikan program Juris Doctor pada 1991 dengan predikat magna cum laude.
Pengalamannya dibesarkan di berbagai tempat, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda, membuat Obama merasa siap untuk masuk ke dunia politik. Obama percaya mampu mempersatukan orang-orang dari kelompok yang berbeda menjadi satu kesatuan warga Amerika. Obama merasa, masalah ini adalah tantangan yang dihadapi Amerika saat ini. Pada 1996, Obama terpilih menjadi senator di Negara Bagian Illinois, dari distrik 13, bagian sisi selatan Hyde Park. Pada Januari 2003, saat Partai Demokrat mendapatkan kendalinya kembali di majelis, Obama menjadi ketua komisi kesehatan dan pelayanan masyarakat.
Atas inisiatifnya di legislatif, Obama dibantu untuk menulis tentang Illinois: Earned Income Tax Credit yang memberikan manfaat kepada keluarga yang mempunyai pendapatan keluarga rendah, Obama juga bekerja untuk membuat undang--undang yang dapat membantu masyarakat yang tidak mampu mendapat asuransi kesehatan dan membantu meningkatkan biaya program pen-cegahan AIDS dan program lainnya yang juga membutuhkan perhatian.Pada 2000, Obama gagal dalam pencalonannya yang pertama sebagai US House of Representatives (DPR) dari Partai Demokrat. Yang menang adalah Bobby Rush, seorang mantan anggota Black Panther, sebuah gerakan kaum kulit hitam untuk mempersenjatai kelompoknya dengan alasan mempertahankan diri. Rush menyerang Obama dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa Obama belum berpengalaman di arena perwakilan rakyat, sehingga tidak tahu apa yang menjadi permasalahan di sana. Rush mendapatkan 61% suara dari pemilih, sedangkan Obama hanya 30% suara. Pada 2002, Obama mencalonkan diri lagi dan tidak mendapatkan rintangan yang berarti.
Presiden AS Kulit Hitam Pertama
Pada 2004, ia bertarung menjadi Senat AS dan menang. Hal ini tak lepas dari ketenaran yang diraihnya ketika menyampaikan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004, mengantar John F Kerry sebagai nomine presiden Demokrat. Dengan pidato yang memuja kebesaran AS, tetapi mengingatkan negara yang kehilangan reputasi global, kekacauan di dalam negeri karena banyak kelompok terpinggirkan, Obama mendadak menjadi selebriti. Banyak yang mengundangnya sebagai pembicara. Dari seorang calon kulit hitam yang tidak dikenal, Obama menjadi Senator AS dengan kesediaan bekerja sama dengan siapa pun, termasuk Senator Republik. Dari sinilah ia memutuskan diri menjadi capres.
Keberhasilan Obama tidak lepas dari dukungan istrinya. Obama, Jr bertemu dengan Michelle Robinson, yang kemudian menjadi istrinya, ketika bekerja di firma hukum Sidley Austin LLP pada musim panas 1990. Michelle yang juga lulusan Harvard Law School adalah rekan pengacara di firma tersebut. Mereka menikah pada 1992 dan memiliki dua orang putri: Malia Ann (lahir 1999) dan Sasha (lahir 2001). Keluarga Obama pernah menjadi anggota Chicago’s Trinity United Church of Christ. Kehidupan dengan Michelle, putri seorang pegawai pengairan di Chicago, menutupi babak kegelisahan hidup Obama yang sempat terjerumus narkoba. Adalah pencarian identitas yang membuat Obama memilih tinggal di South Side Chicago.
Kini, sebuah pertanyaan besar menggantung dalam benak sebagian orang tatkala Barack Obama keluar sebagai pemenang perlombaan pencalonan presiden dari Demokrat awal Juni lalu. Pesaingnya, Hillary Rodham Clinton mengakui kekalahannya dan mengakhiri kampanye Sabtu (7/6) di Washington. Dia pun menyatakan dukungannya terhadap Barack Obama serta menyerukan persatuan bagi seluruh pendukung Partai Demokrat.
Mungkinkah Obama memenangkan persaingan kursi Presiden Amerika menghadapi John McCain dari Republik pada bulan November tahun ini dan mencatat sejarah warga kulit hitam pertama menjadi Presiden AS? Sebab banyak pendukung Obama waswas isu rasial warna kulit akan menghambatnya ke Gedung Putih.
Sebab sebagian kulit putih masih enggan menerima kulit hitam sebagai presiden dan juga kemungkinan taktik kotor lawan-lawan di balik kampanye.
Sebab jika melihat komposisi penduduk AS saat ini, sekitar 52% adalah kulit putih, 24% Afrika-Amerika, 14% Hispanics (keturunan Mexico dan Amerika Latin), 7% Asia (terutama Asia Tengah, Timur, dan Selatan), dan sisanya Arab, Timur Tengah, dan lain-lain. Maukah kulit putih dipimpin seorang Obama yang keturunan Kenya (Afrika)? Dalam sejarah politik AS, belum pernah ada seorang presiden yang tidak berkulit putih (kecuali dalam film). Hal lain, fanatisme kelompok berbasis agama dan ras juga masih sangat kuat di AS. Secara formal-struktural, rasisme memang sudah dihapus, tetapi secara kultural semangat antiras belum hilang di AS.
Meski demikian, bila Obama berhasil menjadi Presiden Amerika pertama berkulit hitam, harapan akan Amerika Serikat yang lebih terbuka, manusiawi, inklusif dan toleran, mungkin bisa terwujud. Kebesaran Amerika sebagai kampiun demokrasi dan pembela hak asasi pasti akan mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan. ►Majalah Tokoh Indonesia Edisi 39/Mangatur L Paniroy (Time, Newsweek, CBSNews)
Barack Obama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar