Kamis, 03 September 2009

Benazir Bhutto (1953-2007)

Martir Demokrasi Pakistan
Mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto, tewas sebagai simbol modernitas dan martir demokrasi di Pakistan. Puteri tertua mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, kelahiran Sindh, 21 Juni 1953, itu ditembak pelaku bom bunuh diri, Kamis (27/12/2007) di tengah kerumunan pendukungnya saat sedang berjalan menuju mobil antipeluru beberapa menit setelah berpidato kampanye di Lapangan Liaqat Bagh, Rawalpindi, Pakistan. Menurut penasihat keamanan Benazir, Rehman Malik, Benazir yang baru dua bulan kembali ke Pakistan itu ditembak dari jarak dekat pada bagian leher dan dada. Pelaku, setelah menembak Benazir, segera membunuh diri dengan meledakkan bom yang diikatkan di tubuhnya. Saksi mata, mengatakan terdengar suara tembakan sebanyak dua kali sebelum ledakan bom. Benazir sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong. Bersama dengan Benazir, 20 orang turut tewas dan 56 orang luka-luka. Sangat disesalkan, bagaimana pelaku bisa mendekati Benazir. Padahal, konon ratusan polisi antihuru-hara sudah dikerahkan untuk mengamankan lokasi kampanye Benazir. Memang, November sebelumnya, Presiden Pervez Musharraf telah meminta Benazir Bhutto membatalkan kampanye di Rawalpindi dengan alasan faktor kondisi keamanan yang tidak memungkinkan. Sebab, menurut Musharraf, akhir-akhir ini di Rawalpindi sering terjadi ledakan bom. Namun, pihak Benazir menghiraukan permintaan itu, karena dikira sebagai upaya menghalangi kampanye Benazir. Atas terbunuhnya Benazir, para pendukungnya marah. Mereka memprotes kelalaian pemerintah dalam mengamankan lokasi kampanye Bhutto. Lokasi terbunuhnya Benazir itu terletak hanya beberapa kilometer dari tempat ayahnya, Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, tewas dihukum gantung rezim Muhammad Zia ul-Haq yang mengudetanya, 1979. Ayahnya dieksekusi karena dituduh terlibat konspirasi pembunuhan. Menaangggapi kemarahan masyarakat pendukung Benazir Bhutto itu, Presiden Pervez Musharraf meminta masyarakat tenang supaya teroris dapat dikalahkan. Musharraf segera menggelar rapat darurat membahas isu keamanan dan nasib pemilu yang seyogyanya dilaksanakan 8 Januari 2008. Presiden Musharraf juga memberlakukan tiga hari berkabung nasional. Sementara, dunia mengecam pembunuhan Benazir itu. Banyak kekhawatiran, Pakistan akan semakin terjerumus dalam kekacauan yang lebih parah. Selain karena gejolak kekerasan dari teroris atau kelompok bersenjata, juga karena protes besar-besaran dari masyarakat yang marah. Belasungkawa juga datang dari berbagai penjuru dunia. Presiden RI juga mengutuk pembunuhan itu dan sekaligus menyatakan belasungkawa yang mendalam. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon juga mengaku kaget dan berang dengan serangan di Pakistan. Dynasti Bhutto Benazir Bhutto, puteri sulung mantan Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto dan ibunya Begum Nusrat Bhutto, seorang suku Kurdi-Iran. Kakek dari pihak ayahnya bernama Sir Shah Nawaz Bhutto, seorang Sindhi dan tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan Pakistan. Benazir mengecap pendidikan Taman Kanak-kanak di Lady Jennings dan kemudian Convent of Jesus and Mary di Karachi, Presentation Convent di Rawalpindi serta Jesus and Mary Convent di Murree. Dia lulus ujian O-level (dalam sistem pendidikan Inggris, setara dengan SMA kelas 1). April 1969, dia diterima di Radcliffe College dari Universitas Harvard, AS, lulus dengan gelar BA dalam ilmu politik, 1973. Juga terpilih sebagai anggota Phi Beta Kappa. Kemudian melanjut ke Universitas Oxford, Inggris, 1973 dan lulus dengan gelar magister dalam Filsafat, Politik dan Ekonomi, 1977. Dia terpilih menjadi Presiden dari Oxford Union yang bergengsi. Setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya, Benazir kembali ke Pakistan, 1977. Kurang dari dua tahun setelah berada di Pakistan, Benazir segera terseret dalam pusaran keras pertarungan politik di negerinya. Kala itu, ayahnya dikudeta oleh militer pimpinan Jenderal Muhammad Zia ul-Haq, kemudian ditahan dan dihukum gantung, 1979. Benazir dan ibunya dikenai tahanan rumah. Beruntung kemudian, Benazir diizinkan pergi ke Inggris, 1984. Kondisi dan kesempatan ini dimanfaatkan Benazir untuk mengasah kemampuannya dalam politik. Pada periode ini, dia menggalang komunikasi dengan Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dulu dipimpin ayahnya dan diambilalih oleh ibunya Begum Nusrat Bhutto. Bahkan Benazir berperan sebagai seorang pemimpin PPP di pengasingan. Setelah kematian Muhaammad Zia ul-Haq, Benazir bisa kembali ke Pakistan. Dia segera menggantikan posisi ibunya sebagai pemimpin PPP. Di bawah pimpinannya, PPP memenangi pemilu terbuka pertama di Pakistan, 1988. Kemenangan PPP itu mengantarkan Benazir menjadi perdana menteri perempuan pertama Pakistan. Suatu prestasi tersendiri, sebab bagi perempuan di negara itu bukan perkara mudah untuk menerobos kekuasaan yang didominasi politisi laki-laki. Ketika itu usianya baru 35 tahun. Sehingga, selain menjadi perdana menteri perempuan pertama, Benazir juga tercatat sebagai politisi paling muda yang memimpin Pakistan. Kala itu, beberapa saat setelah Benazir terpilih sebagai PM Pakistan, BBC menobatkannya sebagai tokoh perempuan paling high-profile di dunia. Namun, gejolak politik yang demikian dinamis (cenderung keras) di Pakistan, membuat Benazir hanya 20 bulan menduduki kursi PM. Dia disingkirkan Presiden Ghulam Ishaq Khan atas dukungan militer,dengan tuduhan korupsi tanpa pernah diadili, 1990, menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilihan umum. Kekuasaan PM kemudian diambil-alih Nawaz Sharif, anak didik Zia ul-Haq. Bhutto terpilih kembali pada 1993 namun tiga tahun kemudian diberhentikan di tengah-tengah berbagai skandal korupsi oleh presiden yang berkuasa waktu itu, Farooq Leghari, yang juga menggunakan kekuasaan pertimbangan khusus yang diberikan oleh Amandemen ke-8. Setelah disingkirkan dari jabatan PM, Benazir terus berjuang menggalang kekuatan politik. Tahun 1993, dia kembali terpilih menjadi PM, setelah memaksa Sharif mengundurkan diri. Namun, seperti sebelumnya, Benazir hanya berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai 1996. Presiden Farooq Leghari membubarkan pemerintahan Bhutto karena tuduhan beberapa skandal korupsi. Jabatan PM kemudian kembali ke tangan Sharif. Sial terjadi lagi bagi Benazir. Tahun 1999, dia bersama suaminya, Asif Ali Zardari (yang diangkatnya menjadi menteri investasi selama masa pemerintahannya 1993-1996), dihukum lima tahun penjara dan didenda 8,6 juta dollar AS karena dituduh menerima imbalan dari sebuah perusahaan Swiss yang dibayar untuk memerangi penggelapan pajak. Namun, hukuman itu dibatalkan pengadilan tinggi karena dianggap bias. Meski didera berbagai kasus dan fitnah, pengaruh politik Benazir tetap berjalan dan kuat. Terbukti pada Pemilu 2002, partainya tetap mendapatkan dukungan suara terbanyak (28,42 persen dan 80 kursi) di majelis nasional. Sedangkan partai Sharif, hanya memperoleh 18 kursi. Namun, kala itu partainya (PPP) yang memenangi Pemilu, memilih bergabung dalam pemerintahan yang dipimpin Jenderal Pervez Musharraf. Ketika itu, Musharraf mengamandemen konstitusi yang melarang perdana menteri menjabat lebih dari dua kali. Konstitusi ini merintangi jalan Benazir ke kursi kekuasaan PM untuk ketiga kalinya. Namun, Benazir tidak mau pasrah. Dia tahu kapan saat yang tepat untuk bertindak. Dia sabar menunggu kesempatan. Bahkan dia telaten menciptakan sendiri kesempatan itu. Maka saat popularitas Musharraf mulai redup, 2006, Benazir mulai melancarkan serangan balik. Dia mengambil keputusan politik yang sulit diprediksi Musharraf. Dia bergabung rival lamanya, Sharif, dalam Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi. Bersama aliansi ini, kelompok oposisi berupaya menggulingkan Musharraf dari tampuk kekuasaan. Tetapi, bagi Benazir, bergabung dengan aliansi itu, tampaknya hanya sebuah manuver politik untuk meningkatkan posisi tawar politiknya dengan Musharraf. Terbukti, Juni 2007, Benazir mengadakan pertemuan dengan Musharraf untuk tawar-menawar pembagian kekuasaan. Manuver politik Benazir itu sontak membuat marah anggota aliansi lainnya. Keputusan politik Benazir itu, sebenarnya juga disorong perbedaan pendapat dengan anggota aliansi lainnya yang ingin memboikot pemilu. Sementara bagi Benazir, memboikot pemilu sama saja dengan membiarkan pihak Musharraf tetap bercokol sendirian di tampuk kekuasaan. Perbedaan inilah yang membuat aliansi pecah. Mereka kemudian sepakat berpisah dengan mengambil jalan politik masing-masing. Di tengah kondisi politik seperti itu, Benazir tampak yakin partainya akan memenangkan Pemilu. Maka, 19 Oktober 2007, Benazir pulang ke Karachi, Pakistan, setelah delapan tahun hidup di pengasingan. Kepulangannya disambut bom bunuh diri yang menewaskan 139 orang. Beruntung, Benazir selamat. Namun, perjalanan hidupnya yang penuh dengan pertarungan itu berakhir tragis Kamis 27 Desember 2007, seusai berpidato dalam kampanye di Rawalpindi, ditembak seorang pelaku bom bunuh diri. Tewasnya Benazir, merupakan peristiwa tragis keempat yang menimpa keluarga Bhutto. Sebelumnya, 1979, ayahnya, mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto, tewas digantung rezim Muhammad Zia ul-Haq yang mengudetanya. Hukuman gantung itu dijatuhkan Jenderal Zia ul-Haq dengan tuduhan Ali Bhutto terlibat konspirasi pembunuhan ayah politisi Ahmed Raza Kasuri. Setahun kemudian, Shahnawaz Bhutto, saudara laki-laki Benazir Bhutto, dibunuh di Perancis. Lalu, 1996, Mir Murtaza Bhutto, saudara Benazir Bhutto lainnya, juga tewas dibunuh. Tragedi kematian Benazir Bhutto, telah mengingatkan duka lama dan meradang duka baru bagi rakyat Pakistan. Bagi mereka, terutama pendukungnya, kematian Benazir Bhutto merupakan kehilangan besar bagi Pakistan. Benazir telah menjadi simbol modernitas dan demokrasi di Pakistan. Sehingga, beberapa saat setelah kematiannya, berbagai pihak menyebutnya sebagai martir bagi demokrasi. ►e-ti/robinson binsar halomoan, dari berbagai sumber: reuter, ap, afp, antara Sumber : *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) Nama: Benazir Bhutto Lahir: Provinsi Sindh, 21 Juni 1953 Meninggal: Lapangan Liaqat Bagh, Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 Suami: Asif Ali Zardari Ayah: Zulfikar Ali Bhutto (mantan PM Pakistan) Ibu: Begum Nusrat Bhutto Pendidikan: - BA di bidang politik dari Harvard, Amerika Serikat (1969-1973 - Magister filsafat, politik dan ekonomi di Oxford, Inggris, 1973-1977 Karir: - Ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP) - Perdana Menteri Pakistan 1988-1990 dan 1993-1996 Buku: - Foreign Policy in Perspective (1978) - The way out: Interviews, impressions, statements, and messages. Mahmood Publications (1988). - Daughter of the East. Hamish Hamilton. ISBN 0-241-12398-4 (1989). - Daughter of Destiny. Simon & Schuster. ISBN 0-671-66983-4 (1989). - Benazir Bhutto defends herself. Rhotas Books (1990). - Issues in Pakistan. Jang Publishers (1993). Dokumentasi New York Times : 1.
Benazir Bhutto in 1977, shortly after leaving Oxford. Two years later, her father, the former Prime Minister Zulfikar Ali Bhutto, would be executed. Ms. Bhutto would also spend time in prison. But her political lineage and sophistication made her popular in Pakistan and abroad.

Photo: Hulton Archive/Getty Images

2.
Ms. Bhutto became the first female leader of a Muslim country when she became prime minister in 1988 at the age of 35. She would serve as prime minister twice, each time being dismissed because of corruption charges.

Photo: B.K. Bangash/Associated Press

3.

Ms. Bhutto's marriage to Asif Ali Zardari in 1987 was arranged by her mother, a fact that Ms. Bhutto has often said was easily explained, even for a modern, highly educated Pakistani woman. To be acceptable to the Pakistani public as a politician, she could not be a single woman, and what was the difference, she asked, between such a marriage and computer dating?

Photo: Zafar Ahmed/Agence France-Presse -- Getty Images

4.

Ms. Bhutto at a news conference in 1988 in front of a poster of her father, Zulfikar Ali Bhutto. In addition, her two brothers suffered violent deaths.

Photo: Douglas E. Curran/Agence France-Presse -- Getty Images

5.

Ms. Bhutto in 1997 with Nawaz Sharif, a political opponent who followed her as prime minister and had been the leader before then-Gen. Pervez Musharraf took over in a coup in 1999.

Photo: Reuters

6.

After Ms. Bhutto returned from self-exile this past October, two explosions during a triumphal parade in Karachi killed at least 134 of her supporters and wounded more than 400. Ms. Bhutto herself narrowly escaped harm.

Photo: Fareed Khan/Associated Press

7.

Ms. Bhutto, 54, waved to supporters at a campaign rally in Rawalpindi on Thursday, not long before she was assassinated.

Photo: Aamir Qureshi/Agence France-Presse -- Getty Images

Tidak ada komentar: